Blog of Basyral Hamidy Harahap

27 January

GREGET TUANKU RAO DILARANG ?

LAPORAN DARI SEMINAR SEJARAH PERANG PADERI



GAGASAN

Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Dr. Joko Utomo, dalam pidato pembukaan Seminar Sejarah Perang Paderi 1803-1838 di Gedung ANRI pada tanggal 22 Januari 2008, mengungkapkan bahwa Dr. Saafroedin Bahar adalah penggagas penyelenggaraan seminar ini. Gagasan itu dikemukakan oleh Dr. Saafroedin Bahar dalam pertemuannya dengan Dra. Mona Lohanda dan Dr. Joko Utomo sendiri. Pihak ANRI menerima baik gagasan ini, karena ANRI adalah lembaga yang menyimpan memori kolektif bangsa, penyimpan sumber-sumber sejarah yang otentik dan kredibel serta memberikan akses seluas-luasnya kepada peneliti, masyarakat untuk kepentingan pemerintahan, pembangunan, penelitian, ilmu pengetahuan, kemasyarakatan demi kemaslahatan bangsa.

Di bagian lain sambutannya, Dr. Joko Utomo mengemukakan bahwa sudah sejak lama ada perdebatan tentang Tuanku Rao. Pada bulan Juli 1969 diselenggarakan seminar di Padang yang menampilkan dua pembicara utama yang berdebat seru, ialah Hamka dan Mangaraja Onggang Parlindungan (MOP) berkaitan dengan buku yang ditulis oleh MOP berjudul Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao: Terror Agama Islam Mazhab Hambali Di Tanah Batak 1816-1833 yang diterbitkan oleh Penerbit Tandjung Pengharapan di Jakarta tahun 1964.

Sepuluh tahun kemudian Hamka menerbitkan buku sanggahannya terhadap buku yang ditulis oleh MOP itu berjudul Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao: Bantahan terhadap tulisan-tulisan Ir. Mangaradja Onggang Parlindungan dalam bukunya Tuanku Rao, yang diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang di Jakarta pada tahun 1974.

Dr. Joko Utomo juga mengemukakan bahwa, G. Teitler menyusun buku Het Einde van de Padrie-oorlog: Het beleg en de vermeestering van Bonjol 1834-1837: Een bronnenpublicatie yang diterbitkan oleh De Bataafsche Leeuw di Amsterdam pada tahun 2004.

Menurut Dr. Joko Utomo, hal itu mencuat kembali setelah buku Tuanku Rao karya MOP diterbitkan oleh LKIS Bantul pada bulan Juni 2007, dan terbitnya karangan Basyral Hamidy Harahap berjudul Greget Tuanku Rao yang diterbitkan oleh Komunitas Bambu di Depok pada bulan September 2007.

Redaksi Majalah TEMPO menganggap masalah ini sangat serius, maka Majalah TEMPO nomor 34, 15-21 Oktober 2007 memuat tulisan berjudul “Kontroversi Kebrutalan Kaum Paderi”.


PARA PEMAKALAH

Seminar ini dihadiri oleh 200 peserta terutama dari kalangan masyarakat Minangkabau dan Melayu Riau yang datang dari Sumatera Barat, Riau dan Jakarta. Ada sepuluh pemakalah dalam dua diskusi panel. Prof. Dr. Taufik Abdullah menyampaikan “Pengantar Umum tentang Perang Paderi 1803-1838” kemudian dilanjutkan Diskusi Panel I yang dipimpin oleh moderator Dr. Magdalia Alfian dengan pemaparan lima pemakalah. Prof. Dr. Asmaniar Z. Idris menyampaikan makalah “Melihat Kembali Peristiwa Perang Paderi”, H. Ilhamdi Taufik, S.H., M.A. menulis makalah “Kearah Kompilasi ABS-SBK di Minangkabau”, Prof. H. Bismar Siregar, S.H. menyampaikan makalah “Aku Bangga Disebut Batak Mandailing”, Batara Hutagalung menulis makalah “Beberapa Catatan mengenai Tuanku Rao dan Perang Paderi”, Prof. Drs. Suwardi, M.S. menyampaikan makalah “Pandangan Masyarakat Melayu Riau Terhadap Kontroversi Buku Tuanku Rao Karya M.O. Parlindungan dan buku Greget Tuanku Rao karya Basyral Hamidy Harahap tentang Kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol & Tuanku Tambusai”.

Pada Diskusi Panel II, Dr. Saafroedin Bahar selaku moderator menyampaikan makalah “Beberapa Catatan Singkat Tentang Cara Merumuskan Kompilasi Hukum ABS-SBK”, dilanjutkan dengan paparan makalah oleh Prof. Dr. Taufik Abdullah berjudul “Dinamika Konflik dan Konsensus Antara Adat dan Agama Islam di Minangkabau”, Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A. menulis makalah “Adat Basandi Syarak – Syarak Basandi Kitabullah: Dinamika relasional adat dan Islam di Minangkabau”, Prof. Dr. Amir Syarifuddin menulis makalah “Sekilas Tentang Mazhab Hambali dan Kaum Wahabi”, Drs. H. Sjafnir Aboe Nain Dt. Kando Marajo menulis makalah “Posisi Sumpah Sakti Bukit Marapalam Sebagai Kesepakatan Paska Padri”, dan Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, S.J. menulis makalah “Perang 30 Tahun Eropa dan Munculnya Masyarakat Sekuler”.

Selain itu, panitia seminar membagikan tujuh tulisan yang tidak dipresentasikan ialah: “Tuanku Imam Bonjol, Paderi, Wahabi dan Adat Basandi Syarak Sebagai Jati Diri Masyarakat Minangkabau” oleh Bachtiar Abna, S.H., M.H. Dt. Rajo Suleman, “Sumpah Setie Bukik Marapalam: Adaek Basandi Syarak – Syarak Basandi Kitabullah” oleh Syekh Suleiman Ar-Rasuly, “Menggugat Imam Bonjol: Ataukah Pemahaman yang Tergelincir??” oleh Anthoniyswan, “Panglima Perang Paderi yang Luput dari Sejarah” oleh Fuad S. Bakri, “Bangga” oleh Lembang Alam, “Perang Paderi Bukanlah Perang Hitam Putih” oleh Azmi Dt. Bagindo, dan “Siapa yang bertanggung jawab atas pelestarian jati diri urang Minang dengan adat budayanya yang ABSSBK” oleh H. Ch. N. Latief, S.H., MSi, Dt. Bandaro.

Seminar ini berjalan lancar. Semua peserta sangat antusias mengikuti acara seminar. Hadir tokoh-tokoh masyarakat Minang antara lain Ketua Umum Gebu Minang, Mayjen. TNI (Purn.) Asril H. Tanjung, SIP, Dr. Awaludin Djamin, Buya Mas’oed Abidin dari MUI Sumatera Barat.

Menarik kehadiran artis Rae Sahetapy dalam seminar itu. Kehadirannya sudah barang tentu untuk menambah wawasannya tentang Perang Paderi berkaitan dengan perannya di dalam film “Tuanku Imam Bonjol”. Harian Duta Masyarakat edisi 22 Oktober 2007 memberitakan pembuatan film yang diproduksi oleh Reza Zulkifli dari PT Salsa Cemerlang Abadi Film dengan sutradara Abuan Romli, seorang spesilais pembuat film kolosal. Reza Zulkifli menyebutkan, bahwa selain menggandeng sejarawan Taufik Abdullah juga akan menggali informasi dari tokoh-tokoh adat Minangkabau di Sumatera Barat untuk mendetailkan ceritanya.

Dalam film ini, Reza menunjuk Rizal Djibran sebagai sosok Tuanku Imam Bonjol dewasa. Sedangkan tokoh Tuanku Rao diperankan oleh ustadz Jeffry Al Buchori sebagai pelanjut perjuangan Tuanku Imam Bonjol. Harian Republika edisi 23 Oktober 2007 juga memberitakan informasi yang berbeda tentang pembuatan film “Tuanku Imam Bonjol”, di antaranya pemeran tokoh Tuanku Rao adalah Rae Sahetapy. Kisah film dimulai dengan pengadeganan Imam Bonjol kecil, sekitar lima menit, semasa remaja (10 menit), kemudian berguru pada Tuanku Rao (Ray Sahetapi) hingga Tuanku Imam Bonjol menjadi panglima kaum Paderi.

Film kolosal ini merupakan film termahal dengan biaya 19 miliar rupiah (Harian Republika 23/10/2007) atau 20 miliar lebih (Duta Masyarakat 22/10/2007) mendapat dukungan dari pemerintah di antaranya Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik, dan dari Departemen Pendidikan

Pada saat istirahat seminar, saya bertanya kepada Rae Sahetapy tentang perannya sebagai Tuanku Rao yang menjadi guru bagi Tuanku Imam Bonjol kecil dan remaja sehingga menjadi Panglima Kaum Paderi. Adakah data sejarah tentang Tuanku Imam Bonjol yang menjadi murid Tuanku Rao? Rae Sahetapy tampak bingung sambil menjawab, bahwa perannya memang menjadi salah seorang guru bagi Tuanku Imam Bonjol. Harian Duta Masyarakat juga memberitakan bahwa, menurut Reza, rencana pembuatan film juga sudah didiskusikan dalam satu sarasehan yang menghadirkan sejumlah orang ternama, antara lain penyair Taufiq Ismail dan Agum Gumelar selaku penasehat produksi. Hal ini saya singgung di dalam laporan ini, karena film “Tuanku Imam Bonjol” itu bisa jadi kelak akan mengundang kontroversi pula.


TANGGAPAN

Judul makalah yang dipaparkan oleh para pemakalah dan tulisan yang tidak dipresentasikan telah menggambarkan apa yang dibicarakan di dalam makalah dan tulisan lainnya itu. Tanggapan peserta terhadap paparan pemakalah sangat bernas.

Makalah yang paling menarik bagi saya adalah makalah Prof. Drs. Suwardi, M.S., yang menjadi perwakilan Masyarakat Melayu Riau dalam seminar ini. Mahaguru ini adalah Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Riau (MSI) sejak berdiri sampai sekarang. Jadi reputasinya sebagai sejarawan seharusnya tidak diragukan. Makalahnya berjudul panjang “Pandangan Masyarakat Melayu Riau Terhadap Kontroversi Buku ‘Tuanku Rao’ Karya M.O. Parlindungan dan buku ‘Greget Tuanku Rao’ karya Basyral Hamidy Harahap tentang Kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol & Tuanku Tambusai”. Menurut mahaguru ini, makalah tersebut adalah hasil kerja tim selama dua hari. Selengkapnya saya salin sesuai aslinya termasuk salah ketik dan cetak tebal (bold) di dalam makalah tersebut di bawah ini sebagai berikut:


PANDANGAN MASYARAKAT MELAYU RIAU TERHADAP KONTROVERSI BUKU TUANKU RAO KARYA M.O. PARLINDUNGAN DAN BUKU GREGET TUANKU RAO KARYA BASYRAL HAMIDY HARAHAP TENTANG KEPAHLAWANAN TUANKU IMAM BONJOL & TUANKU TAMBUSAI


1. LATAR BELAKANG

Pembahasan topik ini pada seminar yang diadakan oleh Arsip Nasional RI kerjasama dengan Gebu Minang dan Seknas MHA tentu didorong oleh berbagai issu yang bersumber dari tersebarnya berita di media cetak tentang terbit ulang (reprint) Buku Tuanku Rao oleh Mangaraja Onggang Parlindungan tahun 2007. Penerbit LKiS menghadirkan kembali buku ini setelah 43 tahun menjadi kontroversi sejak terbit perdana tahun 1964 dan ditarik sendiri oleh penulisnya setelah mendapat kritikan dimana-mana akibat data yang diragukan keakuratannya (khayalan belaka). Terutama fakta yang berkaitan dengan kebrutalan kaum Padri di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol seakan-akan mengarah kepada tindakan yang tidak bersifat manusiawi dan keluar dari nilai-nilai agama Islam. Bahkan Prof. Hamka membuat buku khusus untuk meng-counter buku di atas dengan menerbitkan buku berjudul Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao (Bulan Bintang, 1974).

Namun, akhir-akhir ini kontroversi buku tersebut kembali marak dengan terbitnya tulisan khusus yang dimuat Majalah Tempo edisi 15-21 Oktober 2007 berjudul “Kontroversi Kebrutalan Kaum Padri” pada rubrik selingan “Iqra”. Sebelum tulisan Tempo dipublikasikan sebenarnya telah pula keluar buku yang isinya juga menyorot kisah brutal Kaum Padri di daerah Mandailing (Padang Lawas, Dolok, dan Barumun) di bawah pimpinan Tuanku Tambusai. Buku yang dimaksud berjudul Greget Tuanku Rao karangan Basyral Hamidy Harahap yang intinya menggugat kepahlawanan Tuanku Tambusai yang dianggapnya telah melakukan perbuatan tidak manusiawi dengan membunuh kaum penentangnya secara sadis. Bahkan baru-baru ini oleh seorang yang tidak jelas latar belakang dan apa tujuannya, Ir. Mudy Situmorang (seorang warga masyarakat Batak kelahiran Pulau Samosir) mempersoalkan gelar Pahlawan Nasional kepada Tuanku Imam Bonjol yang berarti juga mempersoalkan kepahlawanan Tuanku Tambusai dengan menyebarkan mailing list yang berbau fitnah dan sadis.

Berdasarkan kontroversi di atas kami dari masyarakat Melayu Riau merasa terpanggil untuk ikut meluruskan sejarah yang coba dibengkokkan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab. Pandangan ini kami susun setelah melalui diskusi selama dua hari berturut-turut dengan melibatkan ahli sejarah, budayawan, akademisi, tokoh masyarakat/adat serta pers yang bertempat di Sekretariat Lembaga Adat Melayu Riau. Pembahasan materi ini lebih kami fokuskan kepada kontroversi Tuanku Tambusai yang telah diangkat sebagai Pahlawan Nasional RI dari Propinsi Riau.


2. TUJUAN

Tujuan dari pembahasan ini ialah:

a. Memberi masukan untuk pemecahan kontroversi Buku Tuanku Rao karya MO. Parlindungan dan Greget Tuanku Rao karangan Basyral Hamidy Harahap terutama yang berkenaan dengan Tuanku Tambusai.

b. Pemecahan itu akan memberi kejelasan tentang nilai-nilai Kepahlawanan Tuanku Tambusai.

c. Memberikan pernyataan sikap atas kelanjutan penerbitan dan reprint dari kedua buku tersebut.


3. PERMASALAHAN

Seberapa jauh kebenaran informasi dalam Buku Tuanku Rao karangan MO. Parlindungan dan Greget Tuanku Rao karangan Basyral Hamidy Harahap? Jika kebenarannya tidak dapat dipertanggungjawabkan maka buku tersebut harus diapakan? Apa maksud penerbitan dan reprint kedua buku tersebut? Adakah skenario untuk memecah belah persatuan kesatuan bangsa dan mencederai kerukunan umat beragama di Indonesia?


4. CAKUPAN BAHASAN

1. Kutipan kontroversi Buku “Tuanku Rao” dan “Greget Tuanku Rao” yang berkenaan dengan Tuanku Tambusai.
2. Klarifikasi dan Pelurusan Fakta.
3. Kesimpulan
4. Rekomendasi


II. MATERI POKOK KONTROVERSI BUKU TUANKU RAO & BUKU GREGET TUANKU RAO YANG BERHUBUNGAN DENGAN TUANKU TAMBUSAI

1. Buku Tuanku Rao memang hanya sedikit menyinggung tentang Tuanku Tambusai. Paling tidak pada buku ini terdapat beberapa halaman yang fokus menceritakan gerak gerik Tuanku Tambusai. Walaupun hanya sedikit, namun tingkat keakuratan datanya sangat perlu dipertanyakan!!! Apalagi ketika berbicara tentang kekejaman kaum Padri di wilayah Minangkabau, tentunya tidak terlepas dari kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Tambusai yang katanya telah melakukan ekspansi sampai ke wilayah Mandailing dengan melakukan pembunuhan massal yang sadis.
Dalam buku ini disebutkan bahwa Tuanku Tambusai merupakan gelar dari nama Hamonangan Harahap, “……….Syarif Anwar Harahap, cucu dari Tinodungan Harahap, yang adalah Saudara Kandung dari Hamonangan Harahap gelar Tuanku Tambusai” (hlm. 352). Pada halaman yang sama disebutkan bahwa makam Tuanku Tambusai tidak pernah diketahui entah dimana. “Tidakpun diketahui, entah kapan, dimana, dan bagaimana Tuanku Tambusai Wafat……. Orang2 Padanglawas percaya, bahwa: Tuanku Tambusai tidak mati!! How?? Katanya: Tuanku Tambusai dengan kudanya “Si Ganding Bara,” masuk kedalam gua didalam tanah. Disitu hidup terus hingga hari ini masih.
Pada bagian akhir bab pembahasan tentang Tuanku Tambusai, penulis dengan terang-terangan menyebut bahwa Tuanku Tambusai adalah gelar dari Hamonangan Harahap. Ditulis bahwa, “Hormat kepada Hamonangan Harahap gelar Tuanku Tambusai Maha Putra Padang Lawas.” Mungkin masih banyak pada halaman lain kontroversi dari Tuanku Tambusai pada buku ini, namun dari yang sedikit data di atas saja tingkat kesalahannya sudah fatal.

2. Buku Greget Tuanku Rao secara nyata dan jelas banyak menuding pribadi Tuanku Tambusai. Penulisnya nampak secara emosional dan membabi buta memfitnah Tuanku Tambusai dengan pandangannya sendiri serta mengutip murni (percaya 100%) sumber dari penjajah Belanda. Namun, sebelum dikutip lebih lanjut kebenciannya terhadap Tuanku Tambusai, perlu diketahui bahwa Basyral merupakan keturunan Raja Datuk Bange yang disebut-sebut sebagai lawan berat Tuanku Tambusai sewaktu menyerang ke Padang Lawas.

Sebagaimana dikutip Tempo dari penuturan Basyral bahwa ketika berhasil dipukul mundur di Padang Lawas, Tuanku Tambusai balik ke Mandailing. “Dan dalam perjalanannya, pasukannya membabi buta menangkapi anak gadis dan perempuan dewasa di lembah timur Bukit Barisan. Para perempuan itu ditukar dengan mesiu”. Setahun setelah peristiwa ini Tuanku Tambusai menyerang Datuk Bange lagi. Pada penyergapan kali ini Datuk Bange dapat dikepung, namun ia berhasil lolos dengan keadaan terluka. Disebutkan Basyral bahwa Datuk Bange mau menyerah, tapi dengan syarat Tuanku Tambusai membiarkan pengikut Datuk Bange selamat. “Kenyataannya pasukan Tambusai kemudian memutilasi ratusan penduduk Padang Lawas”.

Inti dari pemikiran Basyral ini adalah ia mempertanyakan kepahlawanan Tuanku Tambusai yang telah diangkat sebagai Pahlawan Nasional RI tahun 1995 sebagaimana juga disangkatnya. Tuanku Imam Bonjol sebagai Pahlawan Nasional RI dari Sumatera Barat tahun 1973. Basyral mengatakan, “Mengapa ia (Tuanku Tambusai) dianggap pahlawan?”

Basyral membenarkan semua kisah tentang pembantaian yang dilakukan Tuanku Tambusai berdasarkan catatan J.B. Neuman, Jughuhn, Ypes, Schnitger dan T.J. Willer. Ia salah satunya mengutip catatan Willer, “….. Padri yang dipimpin oleh Tambusai membakar kampung demi kampung…. Mereka memaksakan ajaran Islam (Wahabi) dimana-mana. Jika penduduk tidak serta merta mau masuk Islam akan segera dibunuh……..”

Demikianlah kutipan-kutipan kontroversial tentang kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Tambusai yang perlu diluruskan berdasarkan kejian ilmiah dan sumber-sumber terpercaya. Selanjutnya akan dipaparkan kebenaran sejarah berdasarkan hasil kajian dari para pakar sejarah dan tokoh masyarakat di Riau yang telah dimuat pada buku Pengusulan Tuanku Tambusai sebagai Pahlawan Nasional yang diterbitkan tahun 1995. Di dalam buku ini telah ditetapkan Tuanku Tambusai sebagai Pahlawan Nasional RI berdasarkan Kepres No. 071/TK/tahun 1995 tanggal 7 Agustus 1995, dengan sendirinya telah mempunyai kepastian hukum.


III. KLARIFIKASI DAN PELURUSAN SEJARAH

1. Klarifikasi dimaksudkan untuk mengkritisi atas kontroversi Buku Tuanku Rao karangan MO. Parlindungan dan Greget Tuanku Rao. Hasil penelitian dari tim pengusulan Tuanku Tambusai sebagai Pahlawan Nasional melalui kajian mendalam dari berbagai pakar ditemukan fakta bahwa pada intinya Tuanku Tambusai merupakan ulama Islam melawan kolonial Belanda yang menganut agama Kristen/Nasrani (kafir). Perjuangannya bersama kaum Padri adalah jihad. Yang pasti dalam setiap perang tentunya terjadi korban dari kedua belah pihak. Tapi fitnah yang dilontarkan terhadap Tuanku Tambusai dan juga Tuanku Imam Bonjol melalui kedua buku di atas sangat berlebihan. Apakah mungkin seorang penganut Islam yang taat hasil dari didikan kota suci Mekkah tega membunuh orang tak berdosa? Dimana-mana Islam selalu disebarkan dengan damai, bukan dengan pedang sebagaimana dituduhkan pihak lawan. Beda tentunya dengan kedatangan bangsa Eropa ke Nusantara dengan membawa misi dengan menghalalkan segala cara.

2. Pendapat M.O. Parlindungan tentang Tuanku Tambusai merupakan gelar dari Hamonangan Harahap tidaklah benar. Berdasarkan penelusuran data yang tidak diragukan lagi keakuratannya, bahwa Tuanku Tambusai semula lebih dikenal dengan nama Muhammad Saleh. Ia dfilahirkan di Tambusai (sebuah kecamatan di Kabupaten Rokan Hulu Provinsi Riau) tanggal 5 Oktober 1784 dari pasangan Ibrahim dengan Munah. Ayahnya adalah seorang ulama besar di Kerajaan Tambusai waktu itu. Ia sejak kecil sudah diajari pelajaran agama dengan ketat, beladiri, termasuk ketangkasan mengendari kuda. Guna memperdalam ilmu agama Muhammad Saleh kecil pergi menunut ilmu di Bonjol kemudian pindah ke Rao (Sumatera Barat sekarang).

Mengenai akhir hayatnya, disebutkan setelah mengalami kekalahan akibat Benteng pertahananannya (terkenal Benteng Tujuh Lapis) berhasil diduduki Belanda dengan bantuan kaum pribumi yang pro penjajah di Dalu-dalu, Tuanku Tambusai berhasil meloloskan diri dengan menaiki sampan melalui Sungai Batang Sosah. Sampannya sempat ditembak oleh Serdadu Belanda, tapi ia berhasil menyelamatkan diri dengan menyelusuri hilir sungai. Selanjutnya setelah aman dari kejaran serdadu Belanda Tuanku Tambusai dengan beberapa pengikutnya beliau menyeberang ke Semenanjung Melaka (Malaysia) melalui Sungai Rokan.

Pada tanggal 28 Desember 1838 sampan kecilnya serta juga beberapa buku yang dibawanya ditemukan di Sungai Rokan. Sejak itu ia tidak pernah ditemukan lagi di wilayah Rokan karena sudah pergi ke Malaysia. Di sini pengikut-pengikutnya berpencar pada beberapa tempat, sedangkan ia menetap di sebuah kampung kecil sembilan batu dari Serasah, Seremban, Ibukota Negeri Sembilan Malaysia.

Beliau menghabiskan sisa hidupnya di negeri itu, setelah berjuang membela Negara, bangsa dan agamanya. Akhirnya beliau berpulang kerahmatullah dan dimakamkan di sana. Makam beliau hingga sekarang sering mendapat kunjungan dari orang-orang Riau yang pergi ke Malaysia. Bahkan oleh Pemerintah Provinsi Riau sudah dilakukan pemugaran dan jalan menuju makam yang terletak di atas bukit itu telah diaspal dan disamping makam dibangun tempat menyimpan buku-buku yang dibawa Tuanku Tambusai serta mushalla tahun 2004. Di sekitar makam beliau, tepatnya di bawah bukit terdapat pemukiman keturunan beliau. Hal tersebut membuktikan kebenaran bahwa Tuanku Tambusai tersebut merupakan pejuang dan pahlawan nasional yang berasal dari Riau.

Perjuangan Tuanku Tambusai telah pula didokumentasikan melalui sinetron tahun 1989 sebelum beliau diangkat menjadi Pahlawan Nasional, sinetron ini dibintangi oleh artis nasional di antaranya Cok Simbara dan Renni Jayusman dkk serta disutradarai oleh Irwinsyah (alm). Sinetron ini berhasil memenangi Festival Sinetron Indonesia.

Jadi tidak benar beliau bernama Hamonangan Harahap dan akhir hayat beliaupun jelas bukti-bukti kesahihannya.

3. Tuduhan-tuduhan dari Basyral sebenarnya juga tidak masuk akal. Untuk mengklarifikasi kebenarannya berikut dipaparkan sejarah perjuangan Tuanku Tambusai yang sesungguhnya: Kemasyuran ulama besar seperti Haji Miskin, Haji Sumanik, Haji Piobang, dan Tuanku Nan renceh di Minangkabau sampai juga ke Tambusai. Hanya saja di Tambusai tidak ada pertentangan antara kaum adat dengan kaum Padri. Dengan ketekunannya belajar, Muhammad Saleh menjadi seorang Padri dengan gelar fakih. Ia ditugaskan guru-gurunya berdakwah di daerah yang paling rawan waktu itu, yaitu Toba (Sumatera Utara sekarang) yang sebagian besar penduduknya masih menganut kepercayaan pelebegu. Di daerah itu ia merasa nyawanya terancam akibat fitnah bahwa ia ingin merombak adat nenek moyang orang Batak. Ia kembali ke Rao (Sumatera Barat sekarang). Bersama Tuanku Rao, ia menyiarkan agama Islam ke berbagai pelosok seperti Airbangis dan Padanglawas kemudian mendirikan pesantren di kampungnya, Dalu-dalu. Karena tingkat keilmuan agamanya tinggi ia memperoleh gelar tuanku. Tuanku Tambusai. Dengan gelar itu, ia ditugasi sebagai Panglima Paderi di Rao. Di samping sebagai panglima, ia menjadi salah seorang dari empat orang paderi yang berangkat ke Mekkah pada akhir tahun 1820-an untuk mempelajari perkembangan pemikiran Islam di Tanah Suci.

Begitu juga ketika Letkol Elout mengajaknya berdamai di Padang Matinggo, Rao, tahun 1832. Tuanku Tambusai meminta kepada Elout jangan mencampuri urusan negeri orang lain. Elout membalas permintaan itu dengan mengatakan bahwa di mana ada Belanda masuk, di situlah ia membuat kuburan. Secara spontan Tuanku Tambusai menjawab “Jika begitu sediakan bedil!”

Dari paparan di atas dapatlah disimpulkan bahwa Tuanku Tambusai telah menunaikan kewajibannya sebagai ulama besar. Di manapun ia singgah masyarakat menghargai dan membantunya. Ia pejuang pembela tanah air yang gigih dan pantang menyerah. Jadi, tidak mungkin seorang ulama besar memimpin pembunuhan massal. Apalagi sebagaimana yang disampaikan Basyral sendiri bahwa masyarakat Padang Lawas ketika itu sudah memeluk agama Islam. Kita tahu bahwa Tuanku Tambusai berjuang untuk mengislamkan orang yang belum masuk Islam, mungkinkah orang yang sudah Islam sendiri dibantainya tanpa alasan yang jelas?


IV. KESIMPULAN

Dari paparan singkat di atas jelas bahwa kedua buku tersebut lebih banyak khayal belaka. Sebagaimana dikatakan Prof. Hamka bahwa isi buku Tuanku Rao 80% bohong, sedangkan sisanya diragukan kebenarannya, buku Greget Tuanku Rao juga tidak jauh beda kenyataannya. Merujuk ungkapan bahwa setiap kali beliau menanyakan data dan fakta dari buku tersebut, MO. Parlindungan selalu menjawab “SUDAH DIBAKAR”.

Jadi, dengan ucapan tersebut sudah jelas, ia mengakui bahwa kebenaran bukunya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Karena itulah penerbitan kembali buku Tuanku Rao tidak sesuai dengan nilai-nilai ilmiah yang penuh kejujuran dan bertanggungjawab. Begitupun buku Greget Tuanku Rao yang banyak memutarbalikkan fakta yang sebenarnya.

Oleh sebab itulah, reprint Buku Tuanku Rao dan Greget Tuanku Rao menyalahi ketentuan yang berlaku. Apalagi kebenaran kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai sudah tertuang dalam buku yang kebenarannya tidak diragukan karena sudah melalui penelitian dan telah mendapat penilaian mendalam dari tim ahli dalam penetapan Pahlawan Nasional RI.

Kami berpandangan terbitnya Buku Tuanku Rao dan Greget Tuanku Rao semata-mata melecehkan dunia ilmiah karena tidak sesuai dengan kebenarannya. Kehadiran buku tersebut merupakan upaya pembohongan publik dan merusak marwah masyarakat Minang dan masyarakat Melayu Riau serta dapat menimbulkan konflik SARA (Suku, Agama, Ras, dan antar Golongan)


V. REKOMENDASI
1. Masyarakat Melayu Riau menentang peredaran Buku Tuanku Rao dan Greget Tuanku Rao karena tidak sesuai dengan fakta sejarah.
• Mendesak Pemerintah RI (Kejaksaan Agung) supaya kedua buku tersebut dilarang terbit dan buku yang masih beredar ditarik kembali.
• Karena dinilai adanya unsur pembohongan publik, maka kepada aparat penegak hukum untuk mengusut dan menindak yang terlibat sesuai dengan ketentuan yang berlaku.


VI. BAHAN RUJUKAN

Tor Seminar Sejarah Perang Paderi 1803-1838….,
Majalah Tempo edisi, 15-21 Oktober 2007;
M.O. Parlindungan Tuanku Rao, LKiS, 2007;
Soedarmanta, J.B. Jejak-jejak Pahlawan, Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia, Jakarta, 1992;
Arief Gunarso S.TP (penyunting), Ensiklopedia Pahlawan Nasional, Penerbit Tanda Baca,Jakarta,2007.

--------------------

Itulah makalah yang disampaikan Prof. Drs. Suwardi, M.S. Setiap pembaca, dapat menilai kualitas makalah ini.

Batara Hutagalung dalam makalahnya Beberapa Catatan Mengenai Tuanku Rao dan Perang Paderi antara lain berbicara tentang buku Greget Tuanku Rao. Batara Hutagalung antara lain menyebutkan bahwa Basyral Hamidy Harahap menulis di dalam buku Greget Tuanku Rao membantah beberapa hal yang ditulis oleh Mangaraja Onggang Patlindungan, namun dia membenarkan terjadinya tindak kekerasan seperti perkosaan yand dilakukan oleh tentara Paderi. Di bagian lain makalahnya, Batara Hutagalung mengutip buku Greget Tuanku Rao yang menyebutkan bahwa, Datu Bange telah beragama Islam, namun tidak mau menerima aliran Islam yang dibawa oleh Tuanku Tambusai. Lama sebelum gerakan Paderi, mereka sudah memeluk Islam. Selanjutnya Batara Hutagalung menyebutkan bahwa Basyral Hamidy Harahap menyatakan bahwa Datu Bange bukan perampok, melainkan Kepala Luat Dolok, raja paling kharismatik di Padang Lawas Raya yang dicintai oleh rakyatnya. Bahwa, ulama-ulama sufi sangat besar peranannya di Mandailing yang menyebarkan agama Islam di daerah itu berabad sebelum Paderi datang (Greget Tuanku Rao, halaman 68).

H. Bismar Siregar, S.H. menyebutkan pada beberapa butir dalam makalahnya sebagai berikut:
Butir 5a: Adanya perbedaan akhir-akhir ini dengan adanya buku Tuanku Rao karya Mangaraja Onggang Parlindungan dilengkapi buku karya Basyral Hamidy Harahap Greget Tuanku Rao tentang peran tokoh Batak-Mandailing dalam perang Padri, mengundang keraguan pemberian tanda jasa sekaligus helar Kepahlawanan kepada Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai mengingat jasanya mengobarkan perang Padri tidakkah layak juga gelar itu diberikan kepada pahlawan-pahlawan dari suku Batak-Mandailing seperti Tuanku Rao, Tuanku Lelo dan lainnya memerlukan penelitian yang objektif.

Butir 5b: Tentu untuk itu memerlukan penelitian sejarah dan telah ada ahlinya Sdr. Basyral Hamidy Harahap yang telah menulis hasil telitiannya dalam buku Greget Tuanku Rao. Sungguh berharga bila buku tersebut dijadikan pelengkap buku karya Magaraja Onggang Parlindungan Siregar berjudul Tuanku Rao. Memang patut diakui banyak kekurangan, memang benar buku ditulis bukan untuk studi ilmiyah. Sekedar pesan warisan bagi anaknya Dear Sonny.

Butir 5c: Dua buku setepatnya dijadikan awal bacaan mengingat-ingat sejauh manalah kebenaran pahlawan-pahlawan Batak-Mandailing ini ikut berperan dalam perang Padri sampai ada di antara mereka yang meninggal di medan laga Airbangis sedangkan Tuanku Imam Bonjol siap menyerah untuk ditetapkan hidup di pembuangan di luar kampung halaman yang dicintai di Manado.

Butir 5d: Ada hasrat dan keinginan sementara fihak agar diadakan kajian kembali terhadap pejuang-pejuang Islam itu untuk dipertimbangkan layak atau bukan diberikan gelar Pahlawan Nasional.

Ketika Batara Hutagalung mendapat kesempatan menjawab pertanyaan peserta, ia berkata: “Kalau diizinkan oleh moderator dan ibu-ibu dan bapak-bapak sekalian, saya ingin memberikan hak jawab saya kepada Bapak Basyral Hamidy Harahap. Karena saya pikir, beliau mempunyai hak mebela diri, karena di sini ada sebuah paper yang mengacu pada buku Greget Tuanku Rao,” kata Batara Hutagalung.

Saya berterima kasih kepada Batara Hutagalung yang masih kental mengamalkan salah satu nilai luhur budaya Batak, ialah menjunjung tinggi jambar hata, ialah hak dan kewajiban berbicara yang harus diberikan kepada orang yang berhak dan wajib berbicara.

Saya merekam seluruh acara itu agar lebih bermanfaat bagi pemahaman tentang apa saja yang dipikirkan oleh pemakalah dan penanggap tentang Perang Paderi dan sejauh mana Islam dan adat mendasari perilaku orang Minangkabau dalam kehidupan sehari-hari. Saya juga merekam kata-kata saya untuk menanggapi makalah Prof. Drs. Suwardi, M.S. Seorang peserta yang ternyata adalah tetangga saya dan kami adalah jamaah satu masjid yang sama, mengatakan bahwa saya pernah menceritakan keberadaan buku Greget Tuanku Rao dalam salah satu ceramah saya di masjid kami. Ia berkesimpulan bahwa buku Greget Tuanku Rao adalah turi-turian sehingga anak-anaknya tak perlu meluangkan waktu untuk membacanya. Ia adalah ketua alumni suatu SMA Negeri di Riau yang berdomisili di Jakarta. Inilah transkripsi tanggapan saya:

Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuh,
Terima kasih yang sebesar-besarnya atas kesempatan ini dan terima kasih juga kepada Profesor Suwardi, dari yang memimpin Tim Riau, dan terima kasih sekali lagi karena sudah mengangkat nama saya di sana (sambil saya tunjuk tulisan yang ditayangkan power point). Dan hanya saya kecewa, di dalam rujukan yang bapak tulis ini, bapak tidak membaca buku Greget Tuanku Rao (Profesor Suwardi menyahut dari kursi panelis “Ya saya belum membaca”). Bapak hanya membaca TEMPO, tahulah bagaimana surat kabar berbicara. Oleh karena itu, saya anjurkan kepada Bapak, semua Tim dari Riau ini, semua kita ini, bacalah buku Greget Tuanku Rao dengan lapang dada dan sabar.

Saya hanya sedikit sekali bicara tentang Paderi di situ. Tentang pertanyaan saya itu, kemudian menjadi membludak begitu rupa. Saya banyak bercerita tentang bagaimana pembangunan di Mandailing, bagaimana mega proyek pembuatan jalan 90 kilometer dari Panyabungan sampai ke Natal yang hebat sekali mengangkat nama Mandailing sampai sekarang ini. Itu tidak pernah dilihat orang. Bagaimana peranan Willem Iskander dalam bidang pendidikan dll.

Hanya karena pertanyaan itu, kemudian semua orang menjadi mabuk. Dan tanpa membaca buku ini, berani membuat makalah semacam ini. Ya, hanya membaca TEMPO yang begitu. Tahulah bahasa TEMPO, ya. Itu, berita TEMPO itu, tiga jam kami berdiskusi mengenai soal itu. Kemudian dia tampilkan begitu. Dan belum tentu seluruhnya saya setuju dengan yang disampaikan oleh TEMPO.

Jadi, tadi ada yang menanyakan, “Apa maksudnya?” Maksudnya tidak ada apa-apa. Supaya tahu, dari awal saya tadinya diminta oleh suatu penerbit untuk membuat pengantar buku Tuanku Rao karya Mangaraja Onggang. Tetapi, Saudara Dorpi mengatakan “Saya tidak mau buku ini dirobah, dan tidak boleh ada pengantar yang lain.”

Oleh karena itu Komunitas Bambu mengatakan “Coba bang, tulis buku aja.” Dan saya tulis selama tiga bulan, siang malam. Siang malam, kadang-kadang dua hari tidak tidur. Sehingga ada kesalahan ketik antara lain pada halaman 87 yang seharusnya Dante Alighieri tetapi saya tulis orang lain.

Nah, jadi tidak ada maksud lain-lain, hanya menceritakan sejarah. Bahwa itu juga turi-turian, terserah kepada tetangga saya yang di sana. Mungkin jamaah masjid saya juga, waktu saya cerita bahwa buku ini akan terbit. Apa itu turi-turian, apa itu buku sejarah, mungkin tidak ada gunanya, terserah. Ini barangkali tujuan saya adalah mendorong orang, cobalah menulis yang lebih baik, cobalah dari Riau itu menulis sebanyak-banyaknya lagi. Buktikan, semakin banyak kita menulis, semakin baik. Bukan malah melarang seperti pak Batara katakan.

Demikian, dan saya sendiri sebagai latar belakang, saya 26 tahun bekerja di Perwakilan Indonesia Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde. Setiap orang bilang, kalau belajar tentang Indonesia pergilah ke Belanda. Itulah kantor saya. Saya mondar mandir ke [Leiden] sana. Setiap kali saya ke sana, saya kumpulkan bahan-bahan.

Dan tidak mesti kita benci kepada bahan-bahan yang ada di Negeri Belanda. Jadi, para ahli yang mungkin ada di sini barangkali mengakui Adatrechtbundel yang diterbitkan oleh kantor saya itu, itulah buku suci bagi ahli hukum, dan [mereka] membaca Adatrechtbundel ketika hendak menjadi ahli hukum Indonesia.

Itu saja dari saya, dan mohon maaf kalau ini terlalu tegas. Tetapi tidak ada maksud apa pun juga, hanya karena mendorong orang supaya menulis lagi (tepuk tangan hadirin). Seperti saya didorong oleh Mangaraja Onggang supaya saya menulis. Apakah [buku] ini turi-turian atau tidak, terserah kepada bapak tetangga saya ini. Terserah. Enak dibaca, tidak enak dibaca, bohong, silahkan.

Cari bukti-bukti, kakek moyang saya itu perampok menurut panitia yang tadi bapak kutip itu, panitia yang dari Medan, silahkan. Tetapi saya buktikan, tidak! Jadi, silahkanlah menulis. Siapa saja pun juga, dari Riau, dari mana-mana pun juga. Silahkan menulis. Terima kasih (tepuk tangan hadirin).


GREGET TUANKU RAO

Bagi yang belum membaca buku saya Greget Tuanku Rao, saya sajikan di sini daftar isinya sbb.:

Prolog

Perkenalan saya dengan MOP. Alasan menulis buku Greget Tuanku Rao: 1) Mengoreksi kesalahan buku Tuanku Rao, 2) Menulis tentang hal-hal yang luput dari perhatian MOP, 3) Menulis tentang hal-hal yang tidak diketahui oleh MOP. Nama delapan orang peneliti asing yang saya kenal fasih berbahasa daerah masyarakat yang mereka teliti.

Bab I: Bayo Parturi
Fungsionaris Pemerintah Tradisional ada 25 jabatan, termasuk Martua Raja sebagai Panglima Perang (7), Panto Raja sebagai Ahli Sejarah dan Sastra, Juru Kisah (Parturi). Biodata Sutan Martua Raja ayah MOP dan foto MOP ketika berusia 6 tahun berdiri di samping ayahnya. Uraian tentang Bayo Parturi.

Bab II: Marga Babiat
Silsilah Marga Babiat, dilengkapi silsilah sampai dengan Datu Bange generasi XII. Raja Hurlang, adik Datu Bange, mempunyai anak bernama Bandaro yang menetap di Sihepeng, Mandailing Godang. Pergaulan manusia dan harimau.

Bab III: Datu Bange
Datu Bange, Raja Simanabun, yang melawan Tuanku Tambusai di Luat Dolok. Gerakan Tuanku Tambusai. Semangat juang Datu Bange mempertahankan tanah air, harkat dan martabat kaumnya mirip dengan semangat pejuang Indian Geronimo dan tokoh fiktif Indian, Winnetou, karya Karl May.

Bab IV: Kontroversi
Kutipan beberapa bagian dari buku Tuanku Rao yang kontroversal.

Bab V: Tuanku Imam Bonjol
Naskah Tuanku Imam Bonjol yang ditulisnya sendiri halaman 1-191 dan yang ditulis oleh anaknya sendiri Sultan Caniago dari halaman 192 – 318. Wasiat Tuanku Imam Bonjol. Tuanku Imam Bonjol menyerah. Kita bertanya tentang kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai.

Bab VI: Perantau Mandailing
Keberadaan perantau Mandailing di Pasaman sudah ada berabad sebelum lahirnya gerakan kaum Paderi. Mereka tampil sebagai petani, pedagang, guru mengaji, pengurus masjid, zakat, dan wakaf. Merekalah yang menyebarkan Islam ke Mandailing berabad sebelum perang Paderi.

Bab VII: Para Pengagum
Ada tiga orang pengagum MOP, ialah Prof.Dr. Slametmulyana, Hamka dan Bismar Siregar.

Bab VIII: Eduard Douwes Dekker (Multatuli)
Pengalaman Eduard Douwes Dekker (Multatuli) ketika menjabat Kontrolir Natal 1842-1843. Sajak Multatuli tentang kehidupan nelayan Natal.

Bab IX: Duet Godon Dengan Yang Dipertuan
Asisten Residen Mandailing Angkola, Alexander Philippus Godon (1816-1899) selama sembilan tahun (1848-1857) bekerjasama dengan Yang Dipertuan Hutasiantar, membangun masyarakat, antara lain: mega proyek pembangunan jalan ekonomi 90 kilometer dari Panyabungan ke Natal, pembangunan sekolah-sekolah, menghapuskan perbudakan, penataan ekonomi, perbaikan kampung, kesehatan masyarakat, komoditi ekspor kopi dan lem elastik, penanaman kelapa dan pencetakan sawah.

Bab X: Willem Iskander
Sati Nasution gelar Sutan Iskandar yang kelak terkenal dengan nama Willem Iskander (1840-1876) pelopor pendidikan guru bumiputera dengan mendirikan Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers di Tanobato 1862, dan pengarang antara lain karyanya Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk pertama kali diterbitkan di Batavia 1872. Bab ini berisi cuplikan hasil penelitian saya sejak 1975 sampai dengan 2006 tentang Willem Iskander dan karyanya, termasuk daftar karya Willem Iskander, daftar murid yang menjadi guru dan pengarang. Beberapa sajak Willem Iskander. Cuplikan naskah buku Balada Willem Iskander, ialah jejak langkah Willem Iskander dan penelusuran saya mencari jejak Willem Iskander.

Bab XI: Pionir Yang Terlupakan
Rajiun Harahap gelar Sutan Casayangan Soripada (1874-1927) pendiri Indische Vereeniging, di Leiden tanggal 25 Oktober 1908, yang menjadi cikal bakal Perhimpoenan Indonesia. Ja Endar Muda Harahap raja surat kabar Sumatera yang mendirikan surat kabar di Padang, Sibolga, Medan dan Aceh. Pengaruh Willem Iskander.

Bab XII: Hilang Tak Berbekas
Peranan para ulama sufi mengembangkan agama Islam di Mandailing Natal sebelum ada gerakan Paderi. Paderi tak meninggalkan kesan di tengah masyarakat yang sudah terlebih dahulu memeluk Islam.

Epilog
Harapan agar penulis lain menulis lebih banyak lagi.

Bacaan Rujukan
Delapan halaman terdiri dari 70 entri.

Biodata


Itulah ringkasan buku Greget Tuanku Rao. Uraian saya tentang Tuanku Imam Bonjol dan pengikutnya yang bersumber pada manuskrip Tuanku Imam Bonjol sendiri, uraian tentang serangan-serangan pasukan Tuanku Tambusai di Padang Lawas dan Barumun, dan pertanyaan saya tentang kepahlawanan dua Pahlawan Nasional itu, telah membuat gusar masyarakat Minangkabau dan Melayu Riau. Sehingga keberadaan buku Greget Tuanku Rao ikut menjadi alasan penyelenggaraan Panel Diskusi Sejarah Perang Paderi di gedung Arsip Nasional R.I. tanggal 22 Januari 2008. Uraian dan pertanyaan itu pula yang mendorong masyarakat Melayu Riau mengusulkan agar Kejaksaan Agung R.I. melarang buku Greget Tuanku Rao, seperti disebutkan di dalam makalah masyarakat Melayu Riau yang dibacakan oleh Prof.Drs. Suwardi, M.S.


SIAPA TUANKU TAMBUSAI ?
Siapa Tuanku Tambusai? Uraian di bawah ini membantah pernyataan Prof.Drs. Suwardi, M.S. di dalam makalahnya yang tidak mengakui bahwa Tuanku Tambusai adalah Hamonangan Harahap. Kita dapat membaca ranji silsilahnya dalam buku Pahlawan Nasional Tuanku Tambusai (Hamonangan Harahap/Muhammad Saleh): Sejarah Ringkas Kehidupan dan Perjuangannya pada halaman 22 dan 23 yang diterbitkan oleh Tim Pengumpulan, Penyusunan dan Penulisan Sejarah Perjuangan Tuanku Tambusai di Propinsi Sumatera Utara.

Hamonangan Harahap senior mendapat gelar Malim Kaha kemudian bergelar Haji Ibrahim Sutan Malenggang menikah dengan Kosum. Pasangan ini melahirkan Maulana Kadhi. Maulana Kadhi menikah dengan Munah yang melahirkan Muhammad Saleh yang kemudian dikenal dengan nama Tuanku Tambusai. Leluhur Tuanku Tambusai dari pihak ibunya adalah: Munah (ibu Tuanku Tambusai) adalah anak perempuan dari pasangan Judah dan Paduko Lelo. Judah adalah anak perempuan dari pasangan Datuk Ulak dan Podi (lihat juga Greget Tuanku Rao halaman 56 dan 57).

Silsilah ini disyahkan oleh Lembaga Kerapatan Adat Melayu Datuk-Datuk Pucuk Suku Dalu-dalu Tambusai dalam rapat di rumah Tengku Darwis, di Dalu-dalu, pada tanggal 6 November 1994 bersamaan dengan 2 hari bulan Jumadil Akhir antara pukul 20.00 s.d. 22.30. Silsilah ini ditanda tangani oleh 17 para Ketua Lembaga Adat, Cerdik Pandai termasuk B. Ar. Pulungan, S.H. Ketua Himpunan Keluarga Tapanuli Selatan dan Ketua Tim Pengumpulan, Penyusunan dan Penulisan Sejarah Perjuangan Tuanku Tambusai Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara.

Gubernur Sumatera Utara, Raja Inal Siregar, dalam surat Rekomendasi Pengusulan Tuanku Tambusai sebagai Pahlawan Nasional kepada Menteri Sosial, nomor 464.1/5161 tanggal 8 Maret 1995, menyebutkan antara lain “… catatan sejarah yang kami himpun, diketahui bahwa leluhur Tuanku Tambusai bernama Hamonangan Harahap/Malim Kaha berasal dari Tapanuli Selatan dan daerah perjuangan Tuanku Tambusai meliputi wilayah Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Riau…”

Gubernur Riau, Soeripto, dalam suratnya kepada Direktur Jenderal Bina Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial R.I. nomor 464.1/BINSOS/1113 tanggal 17 April 1995, perihal Kebenaran nama, ahli waris dan asal usul calon Pahlawan Nasional Tuanku Tambusai dengan merujuk surat Gubernur Sumatera Utara nomor 464.1/5161 tanggal 8 Maret 1995 itu menyebutkan hal-hal sebagai berikut:

1. Pemerintah Daerah yang mewakili dalam upacara penyerahan gelar Pahlawan Nasional terhadap Tuanku Tambusai adalah Pemerintah Daerah Tingkat I Riau dengan disaksikan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara dan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Barat.

2. Ahli waris yang akan mewakili almarhum Tuanku Tambusai adalah Saleh Djasit, S.H., Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kampar.

3. Mengenai nama, riwayat hidup, dan riwayat perjuangan Tuanku Tambusai adalah sebagaimana tercantum dalam Riwayat Hidup dan Perjuangan Tuanku Tambusai terlampir, dan telah mendapat persetujuan dari Tim Pengumpulan, Penyusunan dan Penulisan Sejarah Perjuangan Tuanku Tambusai di Propinsi Sumatera Utara.


RENUNGAN
Orang yang keberatan atas pertanyaan saya, terpaku pada apa yang tertulis. Mereka tak melihat apa yang tersirat dalam pertanyaan itu. Yang tersirat adalah: Sudah saatnya kriteria Pahlawan Nasional dirumuskan dan dibakukan sehingga berlaku pada semua Pahlawan Nasional. Kriteria itu harus disosialisasikan sedemikian rupa, seperti Pancasila, kepada murid dan pelajar sejak duduk di bangku Sekolah Dasar sampai Sekolah Lanjutan. Sehingga kelak setiap warganegara mengetahui dengan jelas apa syarat-syarat penetapan seseorang sebagai Pahlawan Nasional.

Seseorang ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional tidak hanya karena pernah mengangkat senjata berperang melawan kolonial Belanda atau diperangi oleh kolonial Belanda, tetapi juga termasuk orang yang berprestasi luar biasa menegakkan keadilan dan kebenaran dalam mengangkat harkat dan martabat bangsa.

Sebagai contoh, Adam Malik yang ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional pada tanggal 9 November 1998. Saya sebagai seorang sahabat dan murid Adam Malik, dan sebagai salah seorang pendiri dan pengurus Yayasan Adam Malik, mengambil prakarsa mengajukan Adam Malik sebagai Pahlawan Nasional sesuai dengan prosedur yang berlaku.

Sebagai penutup, perlu ada perenungan untuk mendesakralisasi para Pahlawan Nasional dengan mendudukkan mereka sebagai manusia biasa, yang memiliki banyak keunggulan dan tidak sedikit juga kelemahannya. Hal ini diperlukan, agar kita bisa lebih dekat dengan mereka, sehingga kita lebih dapat memahami makna perjuangan mereka.

posted at 05:30:59 on 01/27/08 by rajungan - Category: General

Comments

No comments yet

Add Comments

You must be logged in as a member to add comment to this blog