Blog of Basyral Hamidy Harahap

18 October

KORBAN PERANG PADRI MINTA PELURUSAN SEJARAH

Kamis, 16 Oktober 2008
20:21 WIB

Pengantar dari saya terhadap berita ini, sbb.:
Tulisan ini diangkat oleh Redaksi KOMPAS Edisi Sumbagut dari artikel yang saya kirimkan 16 Oktober 2008, berjudul Perang Paderi Bukan Perang Agama dan mereka menyiarkannya dalam Kompas.Com di bawah judul Korban Perang Padri Minta Pelurusan Sejarah yang diluncurkan hari Kamis, 16 Oktober 2008, pukul 20.21 WIB. Teks lengkap artikel itu saya luncurkan di Blog saya pada 18 Oktober 2008. Sayangnya, 18 Oktober 2008, KOMPAS Cetak Edisi Sumbagut mengubah artikel itu menjadi Padri: Korban Perang Minta Pelurusan Sejarah dengan menghilangkan kata “gegabah” dalam kritik saya terhadap pendapat pemakalah di Unimed itu yang memandang Perang Paderi sebagai gerakan yang positif dan mengganti kata "memperlihatkan" dengan kata "mengatakan" dua naskah kuno Mandailing kepada Dr. Herman Neubronner van der Tuuk oleh Asisten Residen Mandailing Angkola, Alexander Philippus Godon. Artikel itu adalah hasil riset, liputan tentang peristiwa yang spektakuler dalam sejarah Indonesia. Hal ini perlu saya tegaskan, agar artikel itu jangan dipandang merupakan reaksi pribadi sebagai korban Perang Paderi.*** Basyral Hamidy Harahap.


MEDAN, KAMIS - Polemik soal Perang Padri mendapat tanggapan sejarawan sekaligus mereka yang menjadi korban. Mereka meminta pelurusan sejarah sehingga bisa dipahami secara arif generasi berikutnya. Ada hal-hal dalam Perang Padri yang menyimpan luka mendalam bagi korban perang .
Hal ini disampaikan sejarawan melalui surat elektroniknya yang diterima Kompas, Kamis (16/10) di Medan. Gerakan radikal Padri tidak bisa dipandang sebagai suatu yang positif. Apalagi gerakan radikal Padri dipandang mampu mengisi dan mendinamisasi perubahan sosial saat itu, kata pemerhati sejarah Basyral Hamidi Harahap.
Basyral membantah kesimpulan tersebut. Penilaian terhadap Perang Padri seperti itu dia anggap gegabah. Tragedi kemanusiaan yang luar biasa tidak bisa dinafikan. Bukan saja di wilayah budaya Minangkabau, tetapi juga di Tapanuli, kata penulis buku Greget Tuanku Rao ini.
Menurut dia Perang Padri adalah perang paling lama (1803-1838) dan paling kejam dalam sejarah Indonesia abad ke-19. Mereka bukan saja berupaya menguasai sumber daya ekonomi di luar Minangkabau, tetapi juga menghancurkan memori kolektif dan karya sastra serta perbendaharaan kearifan lokal dengan membakarnya dan membunuh orang-orang arif dan terhormat.
Dalam Perang Padri banyak sekali naskah sejarah yang hilang. Beberapa di antaranya berhasil diselamatkan oleh Asisten Residen Mandailing Angkola (1848-1857), Alexander Philippus Godon. Dia memperlihatkan naskah kuno Mandailing kepada Herman Neubronner van der Tuuk ketika berkunjung ke Panyabungan bulan Maret 1852. Buku berisi berbagai ilmu tentang pertanian, hukum, tradisi, dan pengobatan.



Motivasi
Sampai sekarang, kata mantan peneliti KITLV (pusat kebudayaan Belanda) ini, motivasi pemusnahan naskah kuno itu belum jelas. Basyral sendiri merupakan korban Perang Padri karena nenek moyangnya tewas dalam pertempuran di Padang Lawas, Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara. Dia sepakat bahwa Perang Padri merupakan perang dagang semata. Penyerbuan Padri ke Sumatera Utara juga terjadi lantaran habisnya logistik di Sumatera Barat.
Respons Basyral ini muncul setelah ada bedah buku berjudul Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri karya Christine Dobbin. Bedah buku ini digelar oleh Pusat Studi Sejarah dan Ilmu Sosial, Universitas Negeri Medan (Unimed), Selasa (14/10) lalu. Dalam diskusi itu hadir antropolog Unimed Usman Pelly dan Guru Besar Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sumut Nur Ahmad Fadhil Lubis.
Kepala Pussis Unimed, Ichwan Azhari mengatakan perdebatan tentang Perang Padri penting dikembangkan secara akademis. Diskusi ini , katanya, justru semakin bagus untuk meletakkan wacana bahwa sejarah tidak bisa dipandang dari satu sisi saja. Selama ini Perang Padri banyak dilihat dari satu pihak. Belum banyak pendapat ilmiah dari sudut pandang korban perang, katanya.
Dalam persoalan ini, perlu muncul pandangan orang luar seperti pandangan Dobbin tentang Perang Padri. Dikursus tentang ini tidak harus dibatasi oleh masing-masing klaim kebenaran.

posted at 07:54:00 on 10/18/08 by rajungan - Category: General

Comments

No comments yet

Add Comments

You must be logged in as a member to add comment to this blog