Blog of Basyral Hamidy Harahap

07 September

Dari Panyabungan ke Madina 2

PATUAN MOKSA PENDIRI PANYABUNGAN

Patuan Moksa berhasil memakmurkan penduduk Dori Soit. Orang luar pun datang berniaga ke Dori Soit. Pertumbuhan ekonomi di pusat lembah Mandailing Godang yang subur itu, maju pesat. Dori Soit tidak layak lagi menjadi pusat pertumbuhan ekonomi. Patuan Moksa menanggapi perubahan itu dengan mengganti nama Dori Soit menjadi Panyabungan. Maka Patuan Moksa pun membangun pasar yang dinamainya Pasar Panyabungan. Patuan Moksa memilih lokasi paling strategis untuk Pasar Panyabungan satu setengah kilometer arah timur Panyabungan, ialah tepat di simpang empat sesuai arah mata angin, ialah: Gunung Tua di utara, Huta Siantar di timur, Pidoli di selatan, dan Panyabungan Tonga-tonga di barat.
Patuan Moksa sendiri berdiam di Panyabungan Tonga-tonga, nama baru dari Dori Soit. Bagas Godang, kediaman Patuan Moksa di Panyabungan Tonga-tonga sangat aman dan nyaman di tepi Aek Mata, dengan perlindungan yang kuat, terutama di holbung. Wilayah kerajaannya sangat luas mencakup Rambah di timur, Bonjol di selatan, Natal di barat dan Tobing di utara (Willer, 1845:268) (ten oosten tot Rambah, ten zuiden tot Bonjol, ten westen tot Natal, ten noorden tot tobing). Salah satu buktinya adalah Sultan Kota Pinang bermarga Nasution.
Orang luar pun semakin ramai datang berdagang di Pasar Panyabungan, di antaranya para pedagang Melayu yang datang membeli barang-barang besi, budak, berbagai hewan, kawat tembaga, perhiasan batu mulia, koral, tekstil halus yang mahal, permadani, porselen, garam dll. Barang-barang dagangan itu didatangkan dari Natal di Pantai Barat Mandailing. Pedagang Mandailing sendiri menjual serbuk emas yang mereka tukarkan dengan komoditi impor. Pasar Panyabungan pun menjadi pusat perdagangan komoditi ekspor dan impor. Sedemikian luasnya pasar ini, sampai kini masih ada nama Pasar Jae (Pasar Hilir) yang mengarah ke Panyabungan Tonga-tonga, Pasar Binatang dll. Kini Bapak H. Amru Daulay, S.H. membangun Madina Square di sebagian lokasi Pasar Panyabungan yang dibangun Patuan Moksa itu.
Sejak Patuan Moksa membangun Pasar Panyabungan, pasar ini bukan saja menjadi pusat perniagaan, tetapi juga menjadi pusat pencerahan. Pasar ini menjadi tempat terjadinya interaksi budaya dan ilmu pengetahuan, termasuk juga pusat hiburan antara lain atraksi adu ayam yang membuka peluang bagi perjudian. Pokoknya ketika itu, Pasar Panyabungan merupakan tempat mengadu nasib, di mana tumbuh semangat bersaing, menjadi pusat menyabung kepintaran, menumbuhkan perilaku egaliter, kesetaraan, menerima kehadiran orang luar yang membawa gagasan-gagasan pembaharuan.
Patuan Moksa telah berhasil membangun dinasti Marga Nasution Dahulat yang keturunannya menjadi raja-raja di Mandailing, Batang Natal, Natal (Patuan Natal saudara sepupu Sati Gelar Sutan Iskandar yang terkenal dengan nama Willem Iskander), Batahan dan Pasaman.
Patuan Moksa wafat di Panyabungan. Puteranya, Sutan Natoras, menggantikannya menjadi raja. Sutan Natoras pun wafat di Panyabungan. Cucu Patuan Moksa, Baginda Mangaraja Enda, adalah seorang raja Dinasti Nasution yang legendaris. Baginda Mangaraja Enda menikah dengan tiga wanita, ialah Boru Lubis dari Roburan, Boru Pulungan dan Boru Hasibuan.
Putera pertamanya yang dilahirkan oleh Boru Lubis dari Roburan dinobatkan menjadi Kuria Huta Siantar, ialah Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Huta Siantar. Raja muda ini dinobatkan dengan deklarasi pembagian wilayah kekuasaan Baginda Mangaraja Enda, dengan kekuasaan yang setara dengan kekuasaan ayahandanya, Baginda Mangaraja Enda.
Isteri kedua Baginda Mangaraja Enda, Boru Pulungan yang melahirkan Raja Sumorong dan Tuan Raja Sian. Sedangkan Boru Hasibuan melahirkan Raja Porkas.
Pertapakan rumah Baginda Mangaraja Enda itulah yang menjadi lokasi Bagas Godang milik Patuan Moksa. Kini Bagas Godang Baginda Mangaraja Enda itu masih dapat disaksikan di Panyabungan Tonga. Bangunan ini termasuk bangunan yang dilindungi oleh negara.
Kembali ke doa Si Sauwa yang diijabah oleh Allah SWT diucapkannya dengan penuh pasrah sesaat setelah Si Sauwa bersama anaknya baru saja lolos dari pengejaran para hulubalang Namora Pulungan. Doa yang dimuat oleh Willem Iskander dalam bukunya Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk (Iskander, 1872:36) dikutip lagi di bawah ini, sbb.:
“Olo baya, Ompung Na Martua-tua nampuna tano! Madung dipangolu Amu danak on. Laing pangolu-olu Amu ia nian, ombang ratus ombang ribu, sayur matua bulung!” (Ya Tuhan yang bertuah, pemilik bumi! Engkau telah menghidupkan anak ini. Semoga hidupkanlah dia terus, berkembang beratus-ratus berkembang beribu-ribu sampai berusia lanjut!)



FORT ELOUT

Tidak banyak kota yang dijadikan fort, ialah benteng, pada awal zaman penjajahan Belanda. Kota atau lokasi yang dipilih menjadi fort pastilah memiliki berbagai keistimewaan dibandingkan dengan kampung atau lokasi lainnya. Keistimewaan itu antara lain memiliki kemampuan ekonomi yang kuat sebagai jaminan logistik, khususnya makanan. Letak yang strategis dan terbuka juga merupakan syarat yang penting, sehingga mudah memantau ancaman serangan musuh dan kemungkinan terjadinya perang terbuka. Keberadaan Aek Mata merupakan bagian penting dari pembangunan Fort Elout. Karena air adalah mutlak keberadaannya dalam kehidupan manusia.
Nama Fort Elout yang dibangun bulan Juli 1834 itu diambil dari nama Letkol C.P.J. Elout. Ketika itu Letkol C.P.J. Elout menjabat Kommandant der Troepen en Resident Sumatra's Westkust.
Lokasi Fort Elout itu tepat di pusat Pasar Panyabungan yang dibangun oleh Patuan Moksa. Fort Elout mencakup wilayah dari pinggir Aek Mata sampai sungai kecil dekat Masjid Raya Al Qurro' wal Huffazh sekarang ini.
Siapa Elout? Nama lengkapnya adalah Cornelis P.J. Elout (1795-1843). C.P.J. Elout berada di Hindia Belanda dalam rangka The Anglo-Dutch Treaty of 1814 yang mengakhiri perang antara Belanda dan Inggris di Eropa dan Hindia Belanda. Traktat itu dikenal juga sebagai Convention of London yang ditandatangani di London pada 13 Agustus 1814 oleh Robert Stewart dari pihak Inggris dan Hendrik Fagel dari pihak Belanda. Traktat ini mengatur tukar guling jajahan masing-masing.
Berdasarkan traktat itu dibentuklah resimen pasukan elit The Dutch Indian Brigade terdiri dua batalion yang masing-masing memiliki pasukan tempur. Pasukan ini berangkat ke Hindia Belanda pada bulan Otober dan November 1815. Salah seorang dari pasukan elit itu adalah Lettu C.P.J. Elout. Dia adalah satu di antara jajaran pimpinan The Indian Brigade yang selengkapnya terdiri dari: Panglima: Letjen C.H.W. Anthing, Kepala Staf: Mayjen H.M. de Kock, Ajudan: Kapten J.P. Anthing, Kapten J.R.A. Clignet, Lettu Cornelis P.J. Elout, dan Penghubung: Kapten A. Th. Raaff.
Pada tahun 1819 C.P.J. Elout tercatat sebagai salah seorang dalam jajaran pimpinan Landmagt, Angkatan Darat, yang selengkapnya sebagai berikut: Panglima: G.A.G.P. Baron van der Capellen, ada lima ajudan: ialah Letkol J.J.N. de Paravicini, Letkol G.G. Baron Taets van Amerongen, Letkol J.J.C. Schreuder, Mayor R.L.J. Jonkheer van der Capellen dan Kapten C.P.J. Elout.
Pada tahun 1820 pemerintah Hindia Belanda membentuk Departement der Inlandsche Zaken, ialah badan yang khusus mempelajari masalah-masalah bumiputera, terutama bahasa dan kebudayaan, agar para amtenar lebih mudah berkomunikasi dengan raja-raja dan bumiputera. C.P.J. Elout diangkat memimpin lembaga ini. C.P.J. Elout kemudian mengangkat sejumlah ahli yang ditempatkan di beberapa daerah untuk mempelajari bahasa dan tradisi bumiputera, antara lain ke Yogyakarta, Surakarta, Palembang, Riau dan Malaka. C.P.J. Elout yang masih berpangkat Letkol itu menerbitkan SK nomor 16 tanggal 4 April 1826, yang mewajibkan semua pegawai sipil dan militer untuk mempelajari bahasa Melayu berdasarkan buku yang ditulis oleh William Marsden, 1812. Dengan demikian para amtenar dapat berkomunikasi dengan raja-raja bumiputera.
Ketika menjalani cuti di Negeri Belanda, 1824-1825, C.P.J. Elout menerjemahkan dua buku penting karya William Marsden, ialah A Grammar of the Malayan Language: with an Introduction and Praxis.– London: Printed for the Author by Cox and Baylis, 1812. Elout menerjemahkan buku ini di bawah judul Maleische spraakkunst, naar den Londonsche druk van 1812 in het Nederduitsch en Fransch diterbitkan di Haarlem oleh J. Enschedé, 1824 dengan jumah halaman xcv, 348. Sedangkan kamus bahasa Melayu karya Marsden diterjemahkan oleh Elout di bawah judul lengkap Maleisch, Nederduitsch en Fransch Woordenboek = Dictionnaire Malai, Hollandais et Français; traduit du Dictionnaire Malai et Anglais de Mr. W. Marsden. – Haarlem : Jean Enschedé et Fils, 1825. – xxiv, 604 p.
Pada tahun 1826 terbit bentuk lain dari kamus itu dengan judul Nederduitsch en Maleisch woordenboek, gevolgd van een Fransch en Maleisch woordenboek […] ; Dictionaire Hollandais et Malai, suivi d' un dictionaire Français et Malai […]. – 432 halaman.
Tujuan penerbitan buku-buku ini adalah untuk memberikan pengetahuan bahasa Melayu kepada pejabat di Hindia Belanda yang tidak menguasai bahasa Inggris. Di atas segalanya, tujuan penerbitan buku ini adalah sebagai bahan yang bermanfaat untuk pendidikan dan peningkatan kebudayaan bumiputera (voor het onderwijs en de beschaving van de Inheemsche bevolking van nut geacht). Disamping itu berguna juga bagi Belanda sendiri.
C.P.J. Elout menerima anugerah dua bintang, ialah: Ridder van de 3de Klasse van Militaire Willems-Orde dan Ridders van de Orde van den Nederlandschen Leeuw. Pada tahun 1831 ia tercatat sebagai salah seorang komandan 4de Bataillion Infantrie dengan pangkat Letnan Kolonel. Setahun kemudian diangkat menjadi Kommandant der Troepen en Resident Sumatra's Westkust. Kelak dengan pangkat Mayor Jenderal, C.P.J. Elout diangkat menjadi salah seorang anggota Raad van Indië. C.P.J. Elout meninggal di Negeri Belanda dalam usia 48 tahun pada 3 September 1843.
C.P.J. Elout lahir dan besar dalam keluarga terpelajar. Ayahnya, Mr. Cornelis Theodorus Elout (1767-1841), adalah anggota komisi pembuatan Undang-Undang Dasar Belanda, 1813-1815, dan anggota Raad van State (Dewan Negara). Mr. Cornelis Theodorus Elout adalah satu di antara trio Komisaris Jenderal Hindia Belanda bersama (1815-1819), Leonard Pierre Joseph Burggraaf du Bus de Gisignies, dan G.A.G.P. Baron van der Capellen. Mereka bertiga datang ke Hindia Belanda untuk membenahi perekonomian, khususnya pembentukan bank sirkulasi. Cornelis Theodorus Elout menjabat Menteri Keuangan pada masa penjajahan Prancis di bawah Lodewijk Napoleon sampai pada masa pemerintahan raja Willem I, dan Menteri Angkatan Laut dan Koloni, 1824-1829.
Raja Willem I memberikan surat kuasa kepada Mr. Cornelis Theodorus Elout, bertarikh 9 Desember 1826, selaku Komisaris Jenderal Hindia Belanda untuk membenahi sistem keuangan di Hindia Belanda. Setelah melalui persiapan yang matang, maka Komisaris Jenderal Hindia Belanda, Leonard Pierre Joseph Burggraaf du Bus de Gisignies, diangkat menjadi Gubernur Jenderal, yang kemudian mengeluarkan surat keputusan nomor 25 tanggal 24 Januari 1828 tentang pembentukan De Javasche Bank. Inilah yang menjadi cikal bakal Bank Indonesia.
Adik kandung C.P.J. Elout, Pieter Jacob Elout van Soeterwoude (1805-1893), adalah seorang ahli hukum terkemuka Kerajaan Belanda. Ia mendapat gelar bangsawan Jonkheer pada tahun 1854. Ia adalah lulusan Universiteit Leiden pada 4 Februari 1828 dalam bidang sastra dan hukum sekaligus. Ia memiliki karier yang panjang dalam bidang hukum, politik dan perbankan.
Van Soeterwoude menjadi anggota Tweede Kamer selama 9 tahun, 1853-1862. Ia hadir dalam sidang Tweede Kamer pada 25 September 1860 yang membahas pemberian beasiswa kerajaan kepada Willem Iskander. Ia juga seorang pengikut tokoh pendidikan Belanda yang juga mentor Willem Iskander, Guillaume Groen van Prinsterer. Pieter Jacob Elout van Soeterwoude adalah penerima bintang jasa Commandeur in de Orde van de Nederlandse Leeuw.
Seorang serdadu Belanda berdarah Belgia, Eugene Cruyplants, menulis tentang keberadaan Fort Elout dan pengalaman pasukannya yang dielu-elukan di Hutasiantar. Pasukannya berhasil memorakporandakan 2.000 pasukan Tambusai di kawasan Gunung Tua. Senjata, perlengkapan dan bahan makanan pasukan Tambusai ditinggalkan begitu saja. Mereka lari kucar kacir.
Cruyplants bercerita sedikit tentang Fort Elout di dalam bukunya berbahasa Prancis berjudul Histoire de la participation des Belges aux Compagnes des Indes Orientales Néerlandaises sous le gouvernement des Pays Bas (1815-1830) . – Bruxelles ; Paris ; La Haye : Limoges ; Spinex, 1883.
Pintu gerbang Fort Elout dibangun menghadap Hutasiantar. Sampai tahun 1950-an prasasti Fort Elout itu masih ada di gerbang Pasar Lama Panyabungan, di lokasi Madina Square sekarang ini.
Patut dicatat, ada dua orang Asisten Residen Mandailing-Angkola terkemuka yang berkedudukan di Panyabungan, ialah T.J. Willer (1843-1846), saksi mata Perang Paderi ketika ia menjabat penguasa sipil di Padang Lawas, dan Alexander Philippus Godon (1848-1857). Panyabungan menjadi ibukota Asisten Residensi Mandailing-Angkola selama 33 tahun (1840-1873), yang wilayahnya seluruh Tapanuli Selatan sebelum pemekaran sampai ke Lumut di Tapanuli Tengah sekarang. Selanjutnya ibukota Asisten Residensi Mandailing Angkola pindah ke Padangsidimpuan.
Tokoh lain yang pernah mengunjungi Panyabungan dan bertemu dengan Sutan Kumala Yang Dipertuan Hutasiantar dan adiknya Sutan Dilangit, adalah Prof. Dr. Herman Neubronner van der Tuuk yang menjadi tamu Godon pada bulan Maret 1852. Sebelumnya, Dr. Müller, ahli sumber daya alam yang tiba di Panyabungan pada bulan September 1838, bercerita bahwa ia dijamu makan oleh Sutan Dilangit dengan lauk gulai telur ayam yang lezat.
posted at 09:21:45 on 09/07/14 by rajungan - Category: General

Comments

No comments yet

Add Comments

You must be logged in as a member to add comment to this blog